Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis
memang menjadi pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari
para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula
munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang
dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan
rujukan mutlak.
Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara
singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para
bangsawan Bugis.
Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil
genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi”
ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk
semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati,
Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa),
Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa),
Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu
Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau
dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan
sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua
bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim
dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan
bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan
Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC.
Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang
pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak
memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.
Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain
karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi
ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama
“Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan
Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah
“Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu
pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae.
Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung
(bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang
orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak
pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to
meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu
Ketti-ketti“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi”
sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong’ngi
alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).
Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu
yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka
yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan
siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika
mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya
Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana
baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat
duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan
bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta
mengatakan “oohh, enreki mai ana baco” sambil menunjukkan tempat duduk
di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak
ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam
pasukan khas tersebut.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh
Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa
dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun
1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk
menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika
melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan
yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian
secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan
menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri
Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone
karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara
Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan
menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin
sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah
satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri
Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar
mesjid Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah
diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung
bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang
disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an
ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan
membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul
masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak.
Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan
menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena
rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan
kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah
kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk
sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang
bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng
misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat
keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar
Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan
Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang
berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu
disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi
tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi
bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan
atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang
bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau
panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan
lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya.
Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan
bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil
Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi
Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan
rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan
Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.
Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB).
Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan
terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB
mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang
dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan
Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone,
Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar
Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga
harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada
PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan
personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin
anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo.
Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung
dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama
kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui
pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara
kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara
turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari
ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih
tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’
kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan
kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan
kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok
dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang
berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk
–dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap
rakyat sudah terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya k4win dengan sesama To Manurung/To Tompo [jika
dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal
cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada
sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya
menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai
diterapkan oleh Arung Palakka
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 – 1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya
Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah
Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah
Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. k4win dengan sepupu satu kalinya
yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada
Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.
Yang menjadi tanda tanya adalah :
Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya?
Mengapa kata ‘Andi’ yg digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar
bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan
sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain?
Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena
tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki.
Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :
Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses
pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian
Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian
nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat
yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda
semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah
ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi
merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.
Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat
luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis
dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya
istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh
sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van
Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena
banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan
Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar
sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang
sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh
masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya
oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.
Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi
perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke
wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis
hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang
hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya
sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La
Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan
nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad
ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).
Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk
mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun
yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita
dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar