Sejarah Islam
– Di masa abad pertengahan, setidaknya ada dua kerajaan besar Islam
yang menguasai sebagian besar wilayah dunia; Kerajaan Utsmani di Turki
dan Kerajaan Mughal di India. Banyak data-data sejarah yang telah
membahas tentang kerajaan Turki Utsmani yang begitu fenomenal, namun
sangat sedikit tulisan-tulisan yang mengisahkan bagaimana kerajaan Mughal itu.
Mughal adalah kerjaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai
ibu kotanya, beridiri antara tahun 1526 -1858 M. Kerajaan ini didirikan
oleh Zahiruddin Muhammad Babur. Di antara raja-raja Mughal yang membawa
kerajaan ini mencapai masa keemasannya adalah Aurangzeb Alamgir yang
memerintah 1658 – 1707 M. Dalam sejarah, ia terkesan sebagai sosok yang
kontroversial, seorang raja yang agamis, namun di sisi lain sebagian
sejarawan mengatakan kebijakan-kebijakannya sangat bertentangan dengan
apa yang ia yakini; seperti intoleran, merusak tempat-tempat ibadah
agama lain, dsb. Begitulah saat kita membaca sejarah, selalu ada kubu
yang pro dan yang kontra.
Para sejarawan membaca rekam jejak pemerintahan Islam di India, maka
perspektif mereka sangat membentuk opini mereka dalam menyajikan
sejarah. Sebagian orang melihat seorang tokoh sejarah sebagai tokoh
besar yang menginspirasi, namun sebagian yang lain bisa jadi malah
menganggap tokoh yang sama sebagai seorang tiran.
Orang-orang Hindu dan Sikh menganggap Aurangzeb sebagai sosok seorang
raja yang kejam dan bengis, mengekang kebebasan, dan intoleran.
Sebaliknya, orang-orang Islam menganggapnya sebagai profil pemimpin yang
agamis dan adil. Pembahasan kali ini akan menyibak retorika tersebut,
mendudukkan dan memberikan penjelasan tentang Aurangzeb sebagai seorang
raja muslim yang memerintah sebuah negeri yang mayoritas masyarakatnya
adalah orang-orang Hindu.
Latar Belakang Aurangzeb
Untuk mengetahui seperti apa Aurangzeb, penting bagi para pembaca
untuk mengetahui secara utuh masa pemerintahan Aurangzeb selama 49
tahun. Kerajaan Mughal menguasai India sejak masa kepemimpinan Babur
pada tahun 1526 M. 150 tahun kemudian, Aurangzeb menduduki puncak tahta,
sebagai raja kerajaan Mughal. Saat itu, Mughal mencapai puncak
kejayaannya. KerAjaan ini menguasai anak benua India dan kerajaan
terkaya di dunia kala itu.
Sebenarnya, kejayaan kerajaan telah dirintis pendahulunya semenjak
pemerintahan Raja Akbar, Jehangir, dan Syah Jehan. Shah Jahan adalah
ayah dari Aurangzeb, ialah yang membangun Taj Mahal di Agra. Ayahnya
memilihkan guru-guru terbaik untuk mendidiknya sejak kecil. Di usia
kanak-kanak, Aurangzeb mendalami Alquran, hadis, dan cabang-cabang ilmu
keislaman lainnya. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam membaca,
kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki-nya
pun luar biasa. Aurangzeb juga dilatih agar pandai dalam menulis
kaligrafi, beberapa karya kaligrafinya masih bisa temui saat ini.
Mendakwahkan Islam
Salah satu cita-cita luhur yang diidamkan Aurangzeb adalah melandasi
pemerintahan kerajaan Mughal dengan ajaran Islam yang murni. Raja-raja
sebelumnya, walaupun mereka muslim, tidak menerapkan syariat Islam
secara kafah dalam pemerintahan mereka. Contohnya adalah sang kakek,
Raja Akbar, dalam kehidupan dan pemerintahannya, sang kakek sering kali
menentang prinsip ajaran Islam dengan mengadopsi tata nilai; akidah dan
amalan yang bukan berasal dari Islam. Cita-cita Aurangzeb ini diilhami
oleh pendidikan dan keyakinannya yang kuat akan ajaran Islam.
Aurangzeb menjadi raja Mughal sebelum ayahnya mangkat. Meskipun ia
sangat menghormati ayahnya, namun Aurangzeb cukup vokal menentang
kebijakan-kebijakan ayahnya, seperti gaya hidup yang boros dan
berlebih-lebihan. Di antara kebijakan sang ayah yang ia kritik adalah
pembangunan Taj Mahal, sebuah makam yang dibangun oleh ayahnya untuk
mendiang ibunya, Mumtaz Mahal. Menurut Aurangzeb, pembangunan makam
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang melarang
meninggikan bangunan di atas makam, dan tentu saja hiasan dan
ornamen-ornamen Taj Mahal pasti membutuhkan biaya yang besar. Ia
menyatakan, “Meninggikan bangunan di atas makam adalah sesuatu yang
ilegal, dan tidak diragukan lagi hal itu merupakan pemborosan (sesuatu
yang mubadzir).” Ia juga lantang menyerukan larangan mengagungkan
kuburan-kuburan tokoh-tokoh agama karena yang demikian menurutnya adalah
praktik pengkultusan terhadap penghuni kubur dan sangat jauh dari
tuntunan syariat Islam.
Untuk mewujudkan penerapan syariat Islam dalam pemerintahannya,
Aurangzeb berupaya mengumpulkan jurnal-jurnal fikih menjadi sebuah buku
yang sistematis sehingga mudah untuk dijadikan acuan. Ia juga
memfasilitasi ratusan cendekiawan muslim dari berbagai penjuru negeri
untuk memformulasikan fikih Islam. Hasilnya adalah sebuah buku fenomenal
dalam fikih Hanafi yang berjudul Fatawa al-Amgiri atau juga dikenal
dengan Fatawa al-Hindiya yang merupakan ikhtisar dari fikih Madzhab
Hanafi.
Buku ini kemudian disebarkan ke penjuru wilayah Mughal agar dijadikan
panduan hukum dan memberantas penyakit-penyakit sosial, seperti:
mabuk-mabukan, perjudian, dan prostitusi yang memang berusaha dihabisi
oleh kerajaan. Pungutan pajak yang tidak sesuai syariat juga ia
hapuskan, padahal tata perpajakan ini sudah sejak dulu dipratikkan oleh
kerajaan Mughal.
Untuk mem-back up pendapatan besar yang sebelumnya diperoleh
dari pajak, Aurangzeb mengurangi gaya hidup mewah yang dipratikkan para
raja sebelumnya. Ia tidak tinggal di istana mewah seperti yang dilakukan
oleh ayahnya, tradisi-tradisi kerajaan yang dianggap
menghambur-hamburkan uang dihapuskan; seperti pentas musik dan perayaan
ulang tahun raja.
Sikap Aurangzeb Terhadap Masyarakat Hindu dan Sikh
Telah kita ketahui prestasi-prestasi dan sosok Aurangzeb yang begitu
religius, namun ada beberapa sejarawan dan akademisi berpendapat bahwa
Aurangzeb hanyalah seorang raja yang mewarisi kekerasan dan intoleran.
Ia juga disebut sebagai penghancur kuil dan raja yang selalu berusaha
mengeliminasi orang-orang non-muslim dari wilayah kekuasaannya. Benarkah
demikian?
Sikap Aurangzeb terhadap orang-orang Hindu dan Shikh bukanlah sikap
diskriminatif seperti yang dituduhkan sebagian sejarawan. Puluhan
orang-orang Hindu ia angkat jadi pegawainya di istana, kantor, dan
penasihatnya bahkan Aurangzeb adalah raja yang paling toleran dalam
perjalanan kerajaan Mughal. Terbukti dengan orang-orang Hindu dan Shikh
ambil bagian dalam jajaran pemerintahan dan militernya, tentu saja ini
menunjukkan bahwa Aurangzeb bukanlah seorang yang kaku dalam keagamaan
dan serta merta menolak kontribusi non-muslim.
Isu negatif lainnya yang ditudingkan kepada Aurangzeb adalah, masa
pemerintahannya diwarnai dengan penghancuran kuil-kuil Hindu dan Shikh
serta menolak adanya pembangunan rumah ibadah yang baru. Hal ini
seolah-olah menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Perlu diketahui, penjagaan dan pelestarian candi dan kuil oleh umat
Islam –dengan standar legal dalam hukum Islam- telah berlangsung sekian
lama. Pasukan Islam pertama kali datang ke India pada tahun 711 M di
bawah pimipinan Muhammad bin Qasim yang telah memberikan jaminan
beragama dan keamanan pada kuil-kuil Hindu dan Budha. Aturan yang sama
pun diberlakukan selama ratusan tahun sebelum kerajaan Mughal berkuasa.
Aurangzeb tidak mengabaikan hukum-hukum Islam terhadap kelompok
minoritas atau kelompok mayoritas yang tidak memiliki kekuasaan. Ia juga
mengetahui bahwa syariat Islam melarang penodaan-penodaan terhadap
tempat ibadah. Ia mengatakan, “Menurut keyakinan dan syariat Islam,
kuil-kuil yang merupakan peninggalan zaman sebelumnya tidak selayaknya
dihancurkan.”
Jika Aurangzeb berkeyakinan bahwa penghancuran kuil-kuil atau tempat
peribadatan adalah bertentangan dengan syariat Islam, lalu bagaimana isu
bahwa ia melakukan pengrusakan bisa muncul? Jawabannya adalah hal
tersebut merupakan kebohongan yang dibuat-buat oleh lingkungan politik
kuil.
Perlu diketahui, kuil-kuil Hindu dan Shikh bukan hanya tempat untuk
beribadah semata, akan tetapi kuil juga memiliki pengaruh politik yang
siknifikan. Kuil berfungsi sebagai pusat perpolitikan dan bagian dari
negara, kepala kuil juga bekerja kepada pemerintah. Saat raja-raja
Mughal atau raja Hindu di luar daerah Mughal ingin mendekati rakyat,
maka mereka terlebih dahulu mendekati tokoh-tokoh agama di kuil untuk
mendapatkan simpatik dari rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian,
kuil pada saat itu lebih dari sekedar bangunan yang bersifat religius,
akan tetapi ia juga merupakan sebuah potensi untuk menggapai pengaruh
politik.
Setelah mengetahui fungsi kuil yang signifikan, barulah kita membahas
dan memahami mengapa Aurangzeb sampai menghancurkan kuil-kuil tertentu.
Tidak ada catatan minor dalam sejarah yang mengisahkan bahwa Aurangzeb
menghancurkan kuil di India secara serampangan. Kuil-kuil yang ia
hancurkan benar-benar telah diputuskan dengan kebijakan yang matang dan
juga hanya sebagian kecil dari total kuil-kuil Hindu yang ada di India.
Keputusan penghancuran kuil itu tidak dilandasi oleh sentiment
keagamaan, akan tetapi lebih kepada faktor politik yang dapat
membahayakan stabilitas kerajaan dan masyarakat Mughal.
Kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama mengadakan pemberontakan di
masa Aurangzeb juga dilatarbelakangi kekecewaan mereka terhadap
kepemimpinan Shah Jahan –ayah Aurangzeb- yang mengutamakan kemewahan dan
menyebabkan himpitan perekonomian. Ketika pemberontakan pecah di salah
satu wilayah Mughal, maka kuil-kuil setempat merupakan corong utama yang
memprovokasi masyarakat untuk mengadakan pemberontakan. Oleh karena
itu, selama pemimpin pemberontakan ada dan kuil-kuil pendukung mereka
tetap eksis, maka stabilitas keamanan di wilayah Mughal akan sulit
diwujudkan.
Oleh karena itu ditegakkan aturan, perang terhadap para pemberontak
berkonsekuensi menghancurkan tempat pemberontakan itu dirancang, yaitu
kuil. Contohnya adalah pemberontakan yang terjadi pada tahun 1669 M, di
Banaras yang dipimpin oleh rival politik Mughal, Shivaji. Ia menggunakan
kuil setempat untuk mendukung aksinya. Setelah memberantas kelompok
Shivaji, Aurangzeb menghancurkan kuil di Banaras yang digunakan sebagai
tempat penyusunan strategi untuk memberontak kepada pemerintah.
Peristiwa serupa juga terjadi pada tahun 1670 M di Mathura, pemberontak
di daerah tersebut membunuh tokoh-tokoh agama Islam. Metode
pemberantasan yang sama diterapkan Aurangzeb, yakni menghancurkan kuil
yang menyeponsori pemberontakan tersebut.
Dengan demikian, kebijakan penghancuran kuil-kuil Hindu ini adalah
sebuah hukuman bagi orang-orang Hindu yang telah berhianat kepada
negara, bukan sebagai bentuk intoleran yang dilakukan oleh Aurangzeb.
Inilah sosok Raja Aurangzeb, seorang raja yang berusaha meniti jalan
kebenaran, mempelajari Islam yang murni dan menerapkannya secara pribadi
dan untuk masyarakatnya. Semoga Allah merahmati Raja Aurangzeb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar