Siapa yang tak kenal Raymond Westerling?
Kapten tentara kerajaan Belanda KNIL kelahiran Turki itu pernah menjadi
jagal berseragam militer Belanda yang paling ditakuti di Sulsel tahun
1946 dengan 40,000 korban jiwa dan sempat2nya melancarkan pemberontakan
APRA di Bandung tahun 1950.
Di setiap tempatnya bertugas sebagai
kepala pasukan anti-teror/detasemen pasukan khusus atau disebut DST
(Special Forces Depot) atau Korps Speciale Troepen
– KST (Korps Pasukan Khusus), ia selalu menerapkan metode pembersihan
yang cenderung membabi-buta, mencontoh kisah sukses Gestapo, polisii
rahasia NAZI yang dibesut Hitler di era Perang Dunia II. Meski kejam,
tapi pemerintah colonial Belanda kala itu menghargai ‘upaya’ sang Jagal
berjuluk “The Turk” itu sebagai metoda efektif untuk meredam perlawanan
gerilyawan Indonesia kala itu.
Namun, betulkah kabar yang tertulis di
buku-buku sejarah bahwa dial ah yang paling bertanggung jawab
menghilangkan nyawa sejumlah 40,000 jiwa di Sulawesi Selatan tanggal 11
December 2011?
Mitos angka korban 40ribu Jiwa?
Konon sejarah juga punya sisi hiperbolik, demi untuk menarik simpati generasi setelahnya, ia digambarkan dengan berlebihan.
Masih ingat film
Pengkhianatan G 30 S/PKI yang saban tahun disiarkan pemerintah OrdeBaru
setiap tanggal 30 September? Di film itu betapa kekejaman PKI termasuk
underbownya Gerwani digambarkan secara dramatis, sampai dikatakan
menyilet dan memotong kemaluan para jendral. Kesaksian beberapa dokter
forensik rupanya tidak mengkonfirmasi adanya penyiksaan fisik yang
terjadi saat itu. Jadi ada beberapa versi adegan film garapan Arifin C
Noer yang dibuat tahun 1984 itu berbeda dengan kenyataan sebenarnya.
Tapi demi kepentingan propaganda penguasa Orde Baru, adegan-adegan
horror itu diciptakan seolah-olah adalah benar adanya dan menggugah
emosi bagi para penontonnya.
Demikian juga dengan
data jumlah korban pembantaian Westerling dan pasukan KST-nya yang
menyebutkan 40,000 jiwa melayang dibantai sang jagal. Meski persitiwa
ini setiap tahun diperingati oleh pemerintah Sulawesi Selatan sebagai
hari Korban 40ribu Jiwa, dibuatkan monumen khusus lengkap dengan nama
Jalan Korban 40ribu Jiwa di utara Makassar, namun beberapa sejarahwan,
baik asing maupun sejarahwan Indonesia sangat meragukan jumlah yang
terkesan hiperbolik tersebut.
Berbeda dengan versi
buku sejarah Indonesia yang menyebut jumlah korban pembantaian
Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947 sekitar 40,000 jiwa,
pemerintah Belanda sendiri menengarai jumlah korban ‘hanya’ sejumlah
antara 3000-5000 jiwa. Westerling sendiri dalam memoir nya di dua buku,
otobiografi berjudul Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling
yang terbit tahun 1982, hanya menyebutkan jumlah korban sekitar 400-600
jiwa. Menurut Petrik Matanasi, sejarahwan yang menetap di Yogyakarta,
korban Westerling dalam peristiwa Pembantaian di Sulsel hanya berkisar
pada ribuan dan tidak sampai puluhan ribu.
Darimana angka 40ribu itu?
Sesungguhnya banyak yang meragukan
jumlah korban pembantaiam ala Westerling itu benar-benar mencapai 40
ribu jiwa. Prof. Dr. Rasyid Asba, guru besar ilmu sejarah di Universitas
Hasanuddin, meragukan angka korban sebesar 40 ribu jiwa itu bukanlah
angka yang sebenarnya.
Menurutnya, klaim korban 40 ribu jiwa
itu berasal dari Kahar Muzakkar, tokoh DI-TII saat masih menjadi
ajudan Bung Karno tahun 1947. Saat itu, Bung Karno mengajak bangsa
Indonesia berduka atas tewasnya 40 penumpang kereta akibat tindakan
Belanda. Kahar pun mengomentari pernyataan Bung Karno itu dengan
melaporkan bahwa tak begitu lama dari persitiwa kecelakaan kereta api
itu, di Sulsel juga terjadi pembantaian oleh Westerling dengan angka
korban mencapai 40 ribu jiwa. Saat itu Kahar Muzakkar protes karena
peristiwa memilukan ini tidak mendapat perhatian pemerintah pusat dan
tidak dijadikan hari berkabung nasional.
Prof Salim Said, seorang analis militer,
ketika mewancarai Kapten Westerling pada tahun 1969, menyebut angka 40
ribu jiwa itu sebagai “klaim politik” Kahar Muzakkar. Salim Said
menyamakan klaim politik Kahar Muzakkar itu dengan klaim bohong bahwa
Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun lamanya. Westerling sendiri,
dalam pengakuannya kepada Salim Said, mengaku jumlah korban hanya 463
orang.
Meski demikian pada tahun 1947, delegasi
Republik Indonesia menyampaikan klaim resmi ke Dewan Keamanan PBB
mengenai aksi kebrutalan Belanda dalam agresi Militernya, bahwa jumlah
korban pembantaian terhadap Sulsel oleh Westerling mencapai 40.000 jiwa.
Tak urung hal ini menimbulkan kegaduhan internasional sampai pemerintah
Belanda perlu untuk menurunkan tim investigasi tahun 1969 dan
menyatakan bahwa korban hanya sekitar angka 3.000 rakyat Sulawesi yang
dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling
Angka 40ribu jiwa sejatinya memiliki
keganjilan. Prosesi pembantaian Westerling yang dimulai pada subuh hari
tanggal 11 Desember 1946 di desa Batua Makassar, dari 3000 jiwa yang
dikumpulkan di lapangan terbuka, ada 44 lelaki yang dianggap “teroris”
kemudian dieksekusi di tempat, termasuk 9 pemuda yang mencoba melarikan
diri. Dua hari kemudian, 12-13 desember 1946 korban Westerling bertambah
81 orang, dengan menembaki membakar hangus desa-desa di Tanjung Bunga
dan sekitarnya. Tanggal 14-15 desember 1946, ada 23 orang dibunuh oleh
tentara Westerling, kemudian tanggal 16-17 desember 1946 ada 33 penduduk
Sulsel yang dianggap gerilyawan dibunuh . Yang paling parah adalah
periode dari tanggal 26 Desember 1946 hingga 3 Januari 1947, ada 257
orang yang dibunuh pasukan DST pimpinan Westerling di daerah Gowa.
Aksi Westerling baru
berakhir di 16-17 Februari 1947 di Mandar dengan korban 364 jiwa, dan
benar-benar berhenti tanggal 21 Februari 1947 dimana Belanda kemudian
menarik penuh pasukan DST dari Sulawesi Selatan, lebih dikarenakan
bnerita kebrutalan pasukan ini sudah menyebar luas ke luar negeri. Kalau
dihitung rata-rata korban perhari yang dibunuh Westerling, tarohlah
sekitar 40-100 orang perhari, maka dari tanggal 11-Desember 1946 hingga
17 Februari 1947 yang memiliki rentang 68 hari sekira tanpa jeda,
Westerling telah membunuh rakyat Sulawesi Selatan sekitar 2700 – 6800
jiwa. Angka ini jauh dari anggapan yang diyakini masyarakat saat ini
dan kemudian dicetak resmi dalam buku-buku sejarah: 40,000 jiwa!
Seharusnya memang para
penulis sejarah berhati-hati merilis angka korban, dan berusaha bijak
dalam memaparkannya. Angka 40ribu jiwa memang akan mengoyak sisi
emosionalitas dan menjadi perekat masyarakat Indonesia di masa-masa awal
perjuangan, tapi apakah angka itu juga ampuh menarik simpati generasi
muda yang lahir puluhan tahun kemudian? Alih-alih menimbulkan simpati
pada generasi muda, mereka yang kritis dan tak begitu punya keterkaitan
emosional pasti akan semakin menganggap bahwa kejadian itu hanya mitos
yang tak punya dasar sejarah yang jelas.
Belum lagi rasa harga
diri yang mempertanyakan, “Kemana para pejuang Indonesia yang katanya
gagah berani bersenjatakan bambu runcing, saat penduduk sipil dibantai
secara membabi buta selama 68 hari dari Makassar hingga Mandar? Apakah
mereka tiba-tiba menjadi lemah ketakutan mendengar nama Westerling sang
Jagal dari Turki? Bukankah kita mengenal nama-nama Wolter Monginsidi,
Emmy Saelan yang kelak dipahlawankan? Tak mampu kah mereka menahan laju
pembunuhan yang dilakukan Westerling dan DST dari subuh hingga siang
hari tanpa jeda?
Meski demikian,
berapapun angka tepatnya korban yang jatuh di masa keberingasan
Westerling tahun 1946-1947 di Sulawesi- Selatan, tetap bahwa peristiwa
itu merupakan lembaran kelam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.
Kekacauan pemerintahan dan dibiarkannya hukum rimba berlaku saat itu
mengakibatkan seorang jagal bernama Westerling leluasa membunuh penduduk
sipil tanpa didahului proses pengadilan yang benar. Rakyat Indonesia,
khususnya keluarga korban pembantaian Westerling berhak untuk
mendapatkan keadilan dari pemetintah Belanda, yang hingga saat ini
sepertinya menganggap bahwa kekejaman Westerling dapat dimaklumi karena
dalam keadaan darurat perang. Karenanya, pengadilan Belanda di tahun
1954 menyatakan Westerling tidak menanggung kesalahan apapun atas
perbuatannya semasa perang.
Westerling sendiri di
masa akhir hidupnya bekerja sebagai penjaga pantai di Amsterdam, setelah
sempat meniti karir sebagai penyanyi tenor namun gagal tahun 1958 di
Breda namun gagal. Westerling, sang jagal yang dikenal tak punya rasa
takut itu akhirnya mati terbunuh oleh jantungnya sendiri di tahun 1987,
dalam usia 68-tahun. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah mau mengakui
kejahatan perang yang dilakukannya, ia berkilah bahwa metode pembersihan
itu wajar dalam masa revolusi, dengan melakukan terror untuk
menghentikan terror dianggapnya efektif meredam perlawanan rakyat. Hal
yang sama mungkin di-amini oleh pembesar-pembesar militer NICA/KNIL kala
itu, tapi bagaimana dengan nasib korban penduduk sipil yang tak
bersalah?
Mari kita saksikan roda
sejarah, kemana akan memihak. Akankah keluarga korban pembantaian
Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946, juga di Medan dan Bandung
tahun 1950 (Pemberontakan APRA) akan menerima imbal kerugian akibat aksi
brutal Westerling sebagaimana yang sudah diterima oleh masyarakat Rawa
Gede yang jadi korban tahun 1947?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar